JIKA kita bertanya kepada penjual brem di terminal, rumah makan, atau toko di kota-kota Jatim jawabannya akan sama, yakni buatan Madiun. Saat ditanya merek apa yang paling bagus, pasti jawabannya juga sama: Suling!
"Ini brem Suling buatan Madiun. Jangan sampai keliru dengan yang lain. Pusatnya jelas Madiun wong sudah terkenal di mana-mana kalau brem pasti mengingatkan pada kota itu," kilah Samsul, penjual asongan di Terminal Nganjuk.
Sebagaimana Purwokerto yang dikonotasikan dengan kota kripik, lalu soto dan getuk goreng Sokaraja, dan Semarang dengan lumpianya, Madiun identik dengan brem.
Padahal brem yang selama ini diaku sebagai buatan Madiun sebenarnya diproduksi di Caruban. Sudah sejak berpuluh tahun silam kota itu dikenal sebagai sentra industri rumahan brem.
Kalau pun pembuatnya memakai nama Madiun mungkin agar orang lebih mudah mengingat daripada Caruban. Toh itu bisa diterima karena kedua kota itu berdekatan.
Caruban yang terletak di sebelah timur Madiun memang kurang begitu dikenal sebagaimana daerah industri yang memiliki nama besar dengan produks sangat populer.
Sekitar 5 km ke arah selatan Caruban, tepatnya menuju Desa Kaliabu kesan awalnya tidak tampak kalau desa itu sebagai penghasil brem.
Desa itu agak terisolasi karena sarana jalannya belum begitu baik. Untuk ke sana harus naik ojek bertarif 10 ribu. Jalannya sebagian sudah beraspal tetapi banyak yang rusak.
Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, yang meliputi Dusun Tempuran, Lemahireng, Sumberjo, Nggedong, dan Kaliabu serta Desa Bancong, Kecamatan Wonoasri ditemui banyak industri rumahan brem.
Mereka memakai beragam merek yang umumnya diawali dengan Suling. Antara lain Suling Gading, Suling Mustika, Suling Ariska, Suling Aneka, Sulin Bima, Suling Andika, Suling Mas, dan Suling Istimewa.
Skala industri rumahan dengan proses produksi sebagian besar masih tradisional itu merupakan usaha turun-temurun dari kakek-nenek hingga cucu.
Hampir semua menerapkan model pengelolaan secara kekeluargaan. Gampang dijumpai pekerja yang kebanyakan berasal dari dusun sekitar bekerja bertelanjang dada.
Sudah jamak jika sambil merebus ketan seorang pekerja menaruh kaos atau baju di pundaknya dan tidak ketinggalan sebatang rokok mengepul di mulutnya. Pemilik usaha beserta kerabat atau tetangga duduk-duduk mengobrol di teras rumah.
Siang hari banyak anak-anak tetangga sepulang sekolah langsung menuju rumah pengusaha brem untuk bekerja membungkus brem dalam berbagai ukuran.
Tiap 1 bal atau ukuran panci besar berisi 100 brem mereka menerima upah Rp 5.000. Sastro Sariman, salah seorang pengusaha brem yang cukup besar mempekerjakan 4-5 anak sekolah.
Para pengusaha brem menjemur produknya yang sudah dirajang dalam berbagai ukuran di halaman rumah yang biasanya cukup luas. Jika tidak cukup maka terpaksa melebar ke badan jalan.
Dalam memasak bahan baku utama berupa ketan meski tiap pemilik usaha pembuatan brem punya rahasia sendiri, umumnya campuran hanya menggunakan soda dengan komposisi sesuai dengan selera masing-masing.
Kalau pun ada yang berimprovisasi maka lebih karena ingin lepas dari rasa yang itu-itu saja. Contohnya yang dilakukan Ny Tarmiati pengusaha brem merek Suling Mas yang memberi tambahan susu bubuk coklat.
Di tempat Sastro Sariman tiap hari 1-2 kuintal ketan dimasak (dikaru-Jawa) dalam empat panci besar yang terbagi dalam dua tungku. Setelah masak ketan tersebut didinginkan dengan cara ditaruh di atas meja besar. Untuk meratakan permukaan para pekerja menggunakan alat seperti dayung.
Setelah dingin dimasukkan ke dalam bak plastik besar dan dicampur ragi dengan perbandingan 1 kuintal ketan:1 kantong plastik ragi tape, kemudian ditutup plastik selama seminggu.
Setelah itu dimasukkan ke alat pemeras yang dibuat sendiri dari kayu untuk diambil sari atau airnya. Sari tersebut lalu direbus hingga matang, baru dimasukkan ke mixer sesudah diberi campuran soda hingga berwarna putih kekuning-kuningan.
"Bahan itu kemudian diglasur dan diratakan agar ketebalannya merata, lalu diinapkan selama satu malam agar padat," kata Liman, salah seorang pekerja di tempat usaha brem milik Sastro Sariman.
Pengglasuran dilakukan dengan cara menuang dalam papan selebar 40 cm dan panjang 3 m secara merata. Banyak dan sedikit pemberian soda beragam antara satu perajin dan perajin lainnya, serta lebih bergantung pada selera. Ada yang cukup satu sendok, tetapi ada pula yang lebih karena selera konsumen berbeda. Namun ada pula yang tidak memakai soda sebagaimana yang dilakukan Ny Tarmiati.
Sastro Sariman menekuni usahanya sejak 1984 dengan modal awal Rp 500 ribu. Dengan Rp 15 ribu saja waktu itu ia sudah bisa membeli ketan jumlah banyak. Kini dibantu 8 tenaga kerja yang umumnya dibayar Rp 15 ribu/orang/hari ia sudah merasa mampu menangani usahanya.
Padahal di Desa Kaliabu Sastro Sariman termasuk pengusaha brem sukses selain Ny Tarmiati dan Yadikun. Pengusaha atau lebih tepat perajin brem lainnya rata-rata masih sekadar pekerjaan yanag berharap meraih keuntungan seperti Sastro Sariman.
Di tempat usaha milik Yadikun brem dibuat dalam beragam ukuran. Ada yang memanjang, berbentuk kotak-kotak tipis, dan ada yang dibungkus kecil-kecil serta diberi gambar.
Brem yang diproduksi perajin di Desa Kaliabu ini kebanyakan berbentuk sama, yakni kotak. jarang sekali yang berbentuk tipis bulat.
Di Dusun Sumberjo Ny Tarmiati yang dikenal sebagai pengusaha brem merek Tongkat Mas, Suling Mas, dan Sari Rasa pernah berimprovisasi lewat brem rasa coklat. Itu dilakukan karena jenuh pada rasa yang dari dulu sama saja, ada masamnya seperti tapai dan warnanya putih kekuning-kuningan.
Akhirnya dari coba-coba muncul ide mencampur adonan dengan bubuk coklat. Ternyata sambutan konsumen di luar dugaan. Banyak yang menyukai, bahkan pemasarannya bisa merambah beberapa kota di Jatim dan kota-kota lain termasuk Denpasar, meski waktu itu perederannya terbatas dengan alasan taktik dagang agar konsumen penasaran pada brem rasa baru itu.
Untuk pemasaran perajin atau pengusaha yang sudah maju memanfaatkan tenaga pemasaran yang berkeliling ke kota-kota di luar Caruban. Namun tidak sedikit di antara mereka yang cukup menunggu di rumah sekaligus tempat usahanya karena pedagang akan datang sendiri.
Suyadi yang membuat brem merek Suling Mustika Exclusive, Suling Gading, dan Suling Ariska memanfaatkan tenaga pemasaran yang dilengkapi telepon seluler. Tiap dos berisi 5 batang brem oleh Suyadi dilengkapi kalimat yang menegaskan kepositifan brem, antara lain menghaluskan kulit muka serta menghilangkan jerawat atau bisul.
Ditanya mengapa hampir semua perajin menggunakan nama Suling pada produknya, hampir semua menjawab sekadar ikut-ikutan. Mereka tidak tahu siapa yang mengawali memakai nama itu. Kalau pun tahu mereka bersikap seolah-olah tidak tahu dan enggan diajak bicara masalah merek.
"Merek itu tinggal mencetak di dos apa mau kita. Mau pakai merek ini dan itu, tidak masalah. Di pasaran yang laku merek Suling sehingga kebanyakan pakai itu,'' tegas Sastro Sariman. (Wiharjono-27)
SUMBER:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/30/eko09.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR SOPAN & BAIK.